MENCAPAI PUNCAK

Pagi-pagi buta, dua orang pemuda mendaki gunung untuk melihat
matahari terbit. Dua jam berlalu. Selama waktu tersebut, semestinya
para pendaki sudah tiba di puncak. Namun, mereka baru menempuh
setengah jalan, karena kerap berhenti kelelahan. Tiap kali
beristirahat, mereka melihat pemandangan indah di bawah. Godaan di
hati acap kali muncul: "Buat apa naik lagi? Di sini saja
pemandangannya sudah indah!" Setelah tiba di puncak, barulah mereka
menyadari betapa mereka rugi apabila berhenti mendaki. Pemandangan di
puncak ternyata jauh lebih indah daripada di tempat-tempat
perhentian.
Perjalanan iman kita ibarat pendakian menuju puncak; menuju
kesempurnaan dan kekudusan. Jalannya sulit dan mendaki. Pada saat
kita penat, godaan terbesar yang kerap muncul adalah perasaan cukup.
Kita merasa sudah cukup lama berjuang. Bukankah hasilnya sudah
tampak, buat apa berjuang lagi? Akhirnya kita mandek; berhenti. Rasul
Paulus tidak ingin hal itu terjadi atas dirinya. Karena itu, ia
bertekad untuk "melupakan apa yang di belakangku" (ayat 13). Ia tidak
mau terpukau dengan segala prestasi yang telah ia raih. Ia berprinsip
"aku belum menangkapnya". Garis akhir belum terlihat. Yang terbaik
masih harus diraih. Kesadaran ini mendorongnya untuk terus maju
berjuang-berlari menuju tujuan.
Apakah Anda penat karena sudah lama berjuang untuk pemulihan diri
ataupun keluarga? Apakah kelelahan membuat Anda ingin berhenti sampai
di sini? Apakah Anda merasa cukup puas hidup di bawah standar yang
Tuhan inginkan? Jangan berhenti sebelum mencapai puncak! Di sana
tersedia berkat yang jauh lebih indah

Nats: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah
sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga
menangkapnya (Filipi 3:12)
Selengkapnya...

Langganan: Postingan (Atom)